AL-QUR'AN:Sumber Dari Segala Sumber

Sunday, August 10, 2008

Pelajaran dari Brunei Merdeka

Pelajaran dari Brunei Merdeka  
Thursday, 01 March 2007 

Brunei Negara kecil yang dimanja dengan minyak. Tapi Tetapi proklamasi kemerdekaannya adalah proklamasi aqidah. Bandingkan dengan Indonesia?
 

oleh Dzikrullah

Hari Jum’at dan Sabtu pekan lalu, Brunei Darussalam merayakan Hari Kebangsaannya. Ada beberapa catatan yang menarik untuk kita cermati.

Tepat tengah malam itu, 23 tahun lalu, dalam detik-detik pergantian waktu dari 31 Desember 1983 menuju 1 Januari 1984, ribuan rakyat yang berkumpul sejak maghrib basah kuyup disiram hujan deras.

(Entah mengapa, meski diproklamasikan tanggal 1 Januari 1984, Brunei selalu merayakan Hari Kebangsaannya setiap 23 Pebruari. Tapi yang ini lebih penting..)

Mereka berkumpul di Masjid Omar Ali Saifuddin dan di lapangan seberangnya, Taman Haji Sir Muda Omar ‘Ali Saifuddien. Mereka sudah menunaikan shalat maghrib berjama’ah. Para ulamanya memimpin mereka memanjatkan doa syukur kepada Allah Ta’ala dan shalat ‘Isya berjama’ah. Sesudah diguyur hujan, ribuan rakyat yang kegembiraannya meluap-luap itu masih bertahan.

Tak ada teriakan “merdeka!”. Tak ada penurunan bendera Union Jack, seperti di Hong Kong 1997, walaupun negeri ini berada di bawah the British Empire selama 96 tahun. Rakyat Brunei tak pernah mau menyebut dirinya “dijajah”.

Yang ada gemuruh “Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!” diteriakkan ribuan manusia menggelegar di langit negeri yang baru lahir kembali itu, Brunei Darussalam. Nama itu tertulis di Al-Qur’an surah Yunus ayat 25:

“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).”

Rakyat menyambut teriakan pemimpin mereka, Sultan Haji Hassanal Bolkiah, yang memproklamasikan kepada seluruh warga dunia bahwa negeri ini sudah merdeka. Ini petikan proklamasinya:

“…Brunei Darussalam dengan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan selamanya menjadi Kerajaan Muslim Melayu yang berdaulat, demokratik, dan merdeka berdasarkan ajaran-ajaran Islam, kebebasan, kepercayaan dan keadilan…”

Modal aqidah

Berapa banyak negara yang memproklamasikan kemerdekaannya dengan meneriakkan takbir tiga kali, dipimpin langsung oleh rajanya? Kalaupun ada, maka diantara daftar yang sangat pendek itu, sudah pasti Brunei salah satunya –kalau bukan satu-satunya.

Bangsa berpenduduk sangat kecil yang sangat kaya minyak ini tidak mengagung-agungkan Inggris yang telah menguasainya selama hampir satu abad, yang kemudian melepaskannya. Bangsa ini mengagungkan Allah, karena yakin, pemilik sah tanah, hutan, udara, laut dan seluruh kekayaan isinya di negeri ini adalah Allah Yang Maha Berkuasa.

Brunei mungkin masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Orang Brunei sendiri mengakuinya. “Manja karena minyak, kurang inisiatif dan daya juang, kurang kreatif, kurang berani ambil risiko, banyak yang hidup berlebihan,” adalah sebagian otokritik yang mereka sampaikan sendiri.

Tetapi, proklamasi kemerdekaan Brunei adalah proklamasi kemerdekaan aqidah, yang meyakini keselamatan bangsa ini hanya akan dicapai jika aqidahnya suci dan ibadahnya benar. Ini modal besar.

Dengan modal awal aqidah yang suci, bangsa ini mudah-mudahan tidak akan pernah takut, meskipun minyak dan gas bumi akan kering dalam beberapa generasi ke depan. Beberapa penelitian menyebut, Brunei termasuk negara produser minyak yang “sudah melewati puncaknya”. Aqidah yang suci akan menjadikan sebuah negeri tandus berisi pasir dan batu menjadi negeri termakmur di seantero dunia.

Lihatlah negeri Makkah Al-Mukarramah. Ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam meninggalkan isterinya Siti Hajar dan bayinya Ismail, tempat itu bernama lembah Baka’, lembah kematian, karena tak ada satupun makhluk yang hidup di situ, tidak juga selembar rumput.

Karena aqidah yang benar dan ketaatan yang tanpa reserve kepada Allah Pemilik tanah Mekah dan seluruh bumi, Nabi Ibrahim tidak berdoa minta agar negeri itu menjadi makmur dan kaya, tetapi doanya, “Ya Allah, jadikanlah aku dan keturunanku semuanya sebagai orang-orang yang mendirikan shalat.”

Apa hasilnya? Belasan juta orang setiap tahun mendatangi Makkah untuk beribadah. Lebih dari itu, Makkah yang kini resminya menjadi bagian dari negeri bernama Arab Saudi merupakan negeri terkaya di dunia karena minyak dan gas buminya, sejak tahun 1930-an.

Persoalan bangsa manapun di dunia ini bukanlah kondisi kaya atau miskinnya. Seperti Brunei atau Etiopia. Persoalan utamanya adalah apakah suatu bangsa akan selamat di dunia dan Akhirat di mata Allah Pemilik Jagat Raya ini, pemilik ruh-ruh kita.

Planologi Nabi Ibrahim adalah contoh terbaik. Pondasi bagi master plan pembangunan sebuah negara adalah aqidah yang benar. Sebelum anggaran keuangan dan infrastruktur fisik, harus dipastikan bahwa aqidah bangsa ini selalu menyeru penduduknya untuk taat dan hanya menyembah Allah saja, 24 jam sehari 7 hari seminggu, di semua bidang kehidupan.

Kepada mereka yang kafir, menolak kebenaran aqidah ini, sama sekali tidak akan dipaksa untuk menjadi Muslim. Allah melarang pemaksaan seperti itu. Bahkan Islam mencontohkan di Madinah, di Damaskus, di Yerusalem, di Baghdad dan di mana-mana bahwa para khalifah, sultan, gubernur dan panglima perang Islam menjaga, melindungi dan menjamin keadilan orang-orang yang memilih keyakinan yang berbeda, selama mereka tidak melakukan kekacauan atau memerangi umat Islam.

Bagaimana Indonesia?

Bandingkan Brunei Darussalam dengan negara tetangganya yang jauh lebih besar, Indonesia. Selama 350 tahun dijajah, darah dan nyawa para mujahidin membasahi sejarah jihad bangsa ini. Takbir-takbir para pejuang Indonesia jauh lebih patriotik menggelegar. Namun, ironisnya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak menyebut satu kalipun nama Allah, pemilik sah tanah, air dan udara di negeri ini.

Naskah “Piagam Jakarta” yang sudah disiapkan berbulan-bulan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dan sedianya disiapkan untuk naskah proklamasi dinyatakan “lupa dibawa” ke rumah Laksamana Maeda. Walhasil, naskah proklamasi baru dioret-oret. Pengakuan atas kebesaran Allah tidak disebut sama sekali.

Tidak berhenti sampai di situ. Bangsa yang baru merdeka ini, di hari kedua (18 Agustus 1945) sudah membatalkan syahadatnya sebagai bangsa Muslim, untuk kedua kalinya. Soalnya, Bung Hatta konon didatangi opsir Jepang, yang menyampaikan bahwa para tokoh Kristen dari Indonesia Timur menyatakan akan memisahkan diri dari republik baru ini.

Yang bisa mencegah, hanya bila tujuh kata dalam Piagam Jakarta (yang menjadi mukaddimah pembukaan konstitusi), dihapus. Ketujuh kata itu adalah sambungan dari sila pertama dasar negara “Ketuhanan yang Mahaesa.., dengan kewajiban bagi ummat Islam melaksanakan syariatnya.”

Sebuah disertasi doktor bidang sejarah di Universitas Indonesia menemukan fakta, bahwa tidak ada satu opsir Jepang pun yang pernah menemui Bung Hatta sesudah Proklamasi.

Apakah Jin Jepang atau Opsir Jepang yang pernah menemui Bung Hatta, yang pasti kesucian aqidah bangsa Indonesia sudah sukses dibatalkan.

Saya jadi teringat obrolan dengan Ustadz Abu Bakar Baasyir, di penjara Cipinang, sekitar sebulan sebelum beliau bebas, tahun lalu.

Beliau bilang begini, “Bangsa ini ndak akan pernah beres, karena kita selalu sia-sia membereskan segala urusan kalau pangkal urusan, yaitu aqidah bangsa ini, tidak dibersihkan.”

“Ibaratnya kita mau mandi di sungai, ya ndak akan pernah bersih badan kita. Lha wong di hulu sungai, di mata airnya, ada badak besar penuh lumpur dan buang air terus-terusan..”

“Kalau mau mandi sampai bersih, ya diusir dulu badaknya,” kata beliau.

Nah, kita sekarang mau ikut ambil bagian mengusir badak jorok itu, atau mau terus-menerus mandi di air yang mengandung kencing dan kotoran badak?
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com 

WaOne Palesu

sumber: Hidayatullah.co.id

Lanjut membaca “Pelajaran dari Brunei Merdeka”  »»

Sudahkah Kita Benar-Benar Merdeka?

Sudahkah Kita Benar-Benar Merdeka?
Posted in Politik, Tsaqofah by Hafsa Mutazz on the May 13th, 2007 

“Allah Subhanahu wa taأ¢â‚¬â„¢ala memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam,” tegas Rubaأ¢â‚¬â„¢i lantang menjawab pertanyaan Panglima Rustum, pemimpin pasukan Persia dalam perang al-Qadhisiyah, tentang mengapa pasukan Islam masuk ke tanah Persia.

Dialog di atas terjadi menjelang perang al-Qadhisiyah. Adalah Rubaأ¢â‚¬â„¢i bin Amir, yang memang dikirim oleh panglima tentara Islam ketika itu, Saad bin Abi Waqqash, untuk menghadap panglima tentara Persia, Rustum. Saat itu Rubaأ¢â‚¬â„¢i bin Amir masuk tanpa menghiraukan keadaan mewah sekelilingnya. Rubaأ¢â‚¬â„¢i terus masuk dan membiarkan kaki kudanya mengotori hamparan permadani mewah itu. Segera ia menghadap panglima, dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.

Melihat itu, para pembesar Persia segera berseru, “Letakkan senjata itu!” Dengan tenang, Rubaأ¢â‚¬â„¢i menjawab, “Aku kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang”. Panglima Rustum menengahi,”Biarkan ia menghadap”

Akhirnya, Rubaأ¢â‚¬â„¢i menghadap panglima, dan terjadilah dialog seperti tersebut di atas.

Misi Islam
Pernyataan Rubaأ¢â‚¬â„¢i itu menegaskan bahwa dorongan “ekspansi” Islam bukan bersifat material, sebagaimana yang dilakukan kaum imperialis-kolonialis dari Barat-Nashrani beberapa abad silam ketika mereka merangsek ke wilayah-wilayah jajahan di Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara. Barat berusaha keras menemukan daerah baru untuk dijajah dan dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat ekspansi demi “Gold, Glory and Gospel” (emas, kekuasaan dan agama). Hal itu terbukti, dengan tidak satu pun daerah bekas jajahan mereka -أ¢â‚¬â€œtermasuk Indonesia-أ¢â‚¬â€œ sepeninggal penjajah yang berubah menjadi maju, makmur dan sejahtera. Sebaliknya, yang bersisa adalah derita, duka, dan nestapa.

Berbeda dengan semua itu, Rubaأ¢â‚¬â„¢i justru memberikan perspektif baru tentang dorongan أ¢â‚¬ثœekspansi Islamأ¢â‚¬â„¢, yaitu Tauhid. Semangat dakwah yang berintikan seruan tauhid itulah satu-satunya dorongan ketika Islam berusaha meluaskan daerah kekuasaannya, yaitu semangat membebaskan manusia dari perbudakan kepada penghambaan kepada Allah semata.

Tauhid adalah iman akan wujud (keberadaan) Allah berikut asmaأ¢â‚¬â„¢ (nama-nama) dan sifat-sifatnya. Tauhid yang benar bukan hanya sekedar percaya kepada wujud Allah, melainkan juga disertai ketundukan pada otoritas (kedaulatan) Allah dalam pengaturan kehidupan manusia di dunia, karena memang untuk demikianlah manusia diciptakan (QS. al-Dzariaat [51] ayat 56).

Tauhid itulah landasan penyebaran Islam. Benar, misi Islam sejak awal adalah menyeru manusia di seluruh dunia kepada Tauhid, dengan jalan dakwah dan jihad. Melalui dakwah berarti terdapat gerakan terus menerus untuk merubah manusia dari pikiran, perasaan dan tingkah lakunya yang sesat dan kufur menjadi pikiran, perasaan dan perilaku yang diatur oleh syariأ¢â‚¬â„¢at Islam, serta mewujudkan pola hubungan antar manusia berdasarkan hukum Allah SWT.

Sejarah menunjukkan hal ini. Setelah berjuang selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan di Madinah. Rasulullah memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah SWT, dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah di sekitarnya. Makkah yang semula sangat memusuhinya, tak lama kemudian dapat ditaklukkan dan berbalik menjadi pembelanya, kemudian Syam dan Mesir. Dalam berdakwah, Rasul menyeru kepada para pemimpin wilayah-wilayah yang menjadi objek dakwah untuk masuk Islam. Misalnya, beliau menyeru kepada Heraclius, “Aslim taslam أ¢â‚¬â€œ berIslamlah agar kau selamat”. Bila ditolak, Rasul tidak memaksa, tapi mereka diminta tunduk kepada pemerintah Islam dan membayar jizyah dengan tetap memeluk agama mereka masing-masing. Allah berfirman:

“Perangilah oleh kalian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah sedang mereka dalam keadaan tunduk (kepada hukum-hukum Islam) (QS. At-Taubah 29).

Bila terhadap tawaran ini pun mereka tetap juga menolak bahkan melawan, mereka diperangi. Sebab, saat itu berarti mereka tengah menghalang-halangi manusia menerima cahaya kebenaran Islam, serta menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah yang dapat dimengerti dari hadits beliau yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Farwah Ibnu Musaik, “Janganlah kalian memerangi suatu kaum sebelum kalian mengajaknya kepada Islam”.

Jelas sekali, semangat penyebaran Islam berbeda sama sekali dengan yang dilakukan oleh Barat. Kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliyahan dan kerusakan. Semuanya itu menyebabkan manusia hidup di dalam kegelapan tanpa petunjuk dari Penciptanya. Sebab itu, Al-Qurأ¢â‚¬â„¢an menyebutnya dzulumat (kegelapan).

Di bidang aqidah, Barat menyebarkan filsafat materialisme; di bidang ekonomi menyebarkan tatanan ekonomi kapitalisme yang eksploitatif; di bidang budaya menyebarkan amoralisme; di bidang pemikiran menyebarkan sekularisme, di bidang militer dan politik menyebarkan peperangan, adu domba dan pertentangan demi kepentingan sesaat serta melegalkan kedustaan.

Sementara Islam, menyebarkan tauhid dan rahmat berupa kebaikan, kemuliaan dan kesejahteraan serta pembebasan yang semua bertolak belakang dengan kejahiliahan, kekafiran, kemusyrikan, dan kerusakan yang disebarkan Barat. Al-Qurأ¢â‚¬â„¢an menyebut Islam akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Maka, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara, mundur dan terbelakang. Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain, justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam, saat belahan lain sedang mengalami masa kegelapan.

Jadi, jelaslah misi Islam adalah menyeru manusia kepada tauhid dan memerdekakan manusia dimana saja ia berada, dari pengaruh thagut. Tegas sekali firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah [2] ayat 257 :

“Allah adalah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah para thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Pada masa Rasulullah, thagut adalah berhala-berhala yang disembah di seputar Kaأ¢â‚¬â„¢bah. Kini, thagut telah berubah wajah أ¢â‚¬â€‌tapi hakikatnya samaأ¢â‚¬â€‌ menjadi ideologi-ideologi yang bersumber pada filsafat materialisme yang mengingkari kedaulatan Allah SWT, beserta segenap turunannya berupa sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Islam memerdekakan manusia pula dari penghambaan kepada materi, kepada ambisi pribadi dan kepada hal-hal duniawi menuju kepada penghambaan Allah. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam. Jadi, seseorang dan suatu masyarakat baru bisa dikatakan telah benar-benar merdeka, ketika ia bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT serta melepaskan diri dari pembelengguan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid seraya menegakkan syariأ¢â‚¬â„¢at Islam. Kemerdekaan hakiki ada dalam penerapan sistem hukum Islam secara total.

Tafakkur
Indonesia memang secara fisik militer telah merdeka. Tapi, setelah lima puluh lima tahun berlalu, apakah kita telah benar-benar merdeka secara hakiki?

Menurut Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, kapitalisme sebagaii sebuah ideologi akan selalu berupaya menyebarkan paham dan mempertahankan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Metode atau thariqahnya, menurut Nabhani, adalah melalui penjajahan (istiأ¢â‚¬â„¢mar), yakni berupa penguasaan (pengendalian) dan dominansi di bidang politik, ekonomi, sosial pendidikan, budaya dan hankam.

Di masa sebelum dan seputar Perang Dunia I dan II, persisnya setelah payung dunia Islam, Khilafah Utsmani runtuh pada tahun 1924, yang dilakukan Barat adalah penjajahan militer. Negeri Islam yang semula utuh bersatu menjadi terpecah-pecah. Sebagiannya lama sebelum itu malah sudah diduduki oleh penjajah. Diantaranya, Aljazair oleh Perancis, Irak, India, Palestina, Yordania, Mesir dan kawasan Teluk dikuasai Inggris dan sebagainya.

Kini setelah wilayah-wilayah itu merdeka, negera-negara Barat tetap berusaha menjajah dengan dengan cara yang baru. Di bidang ekonomi, penjajahan dilakukan melalui ketergantungan terhadap hutang luar negeri. Dengan dalih membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mereka meminjamkan uang dalam jumlah besar. Belakangan terbukti hutang tersebut bukan mengentaskan kemiskinan, melainkan malah menambah miskin. Dan yang paling gawat adalah memunculkan ketergantungan ekonomi. Dengan ketergantungan ekonomi yang demikian besar, negara Barat lewat berbagai institusi-institusi yang dibentuknya seperti IMF, World Bank dan sebagainya, dapat memaksakan kemauan politiknya atas suatu negara, baik secara langsung maupun tidak. Maka, negeri-negeri itu menjadi tidak merdeka secara politik. Indonesia mengalami itu. Kini kita tidak lagi bisa secara leluasa mengatur negeri kita sendiri. Semua, bahkan termasuk penyusunan kabinet dan program-progam pemulihan ekonomi, harus dimintakan persetujuannya melalui apa yang disebut letter of inten (L0I). Untuk hal seperti itu saja harus meminta persetujuan mereka, maka jangan berharap mereka akan membiarkan kita, misalnya, menetapkan pemberlakuan hukum syariat Islam seperti yang sekarang sedang diusulkan oleh FPPP di sidang MPR. Penjajahan ekonomi juga dilakukan dengan berbagai aturan yang mereka paksakan, seperti ide pasar bebas dengan WTO-nya atau isue globalisasi, privartisasi dsb. Maka, sekalipun secara fisik merdeka, secara politik dan ekonomi terjajah.

Di bidang kebudayaan, globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan karena dengan demikian peristiwa-peristiwa dari berbagai belahan dunia dengan cepat dapat kita ketahui, tapi di sisi lain terjadi pula gelombang arus budaya Barat (westernisasi) ke negeri-negeri Islam. Munculnya TV swasta di negeri ini mempercepat berkembangnya budaya Barat. Saban hari keluarga-keluarga muslim dicekoki dengan gaya hidup, perilaku dan cara berfikir Barat. TV telah menjadi agen pembaratan yang tangguh. Tak heran bila kemudian anak-anak muslim lebih mengenal tokoh-tokoh rekaan di TV ketimbang tokoh-tokoh Islam. Maka, sadar atau tidak mereka telah terbaratkan dan kehilangan identitas kepribadian Islamnya. Itu semua sedikit banyak berpengaruh kepada cara berfikir, pemihakan, keprihatinan dan perilaku kaum muslimin. Apa yang dari Barat dinilai baik dan modern, serta apa yang dilakukan juga mesti benar. Inilah penjajahan di bidang budaya.

Di bidang hukum, tak terhitung jumlahnya hukum dan perundang-undangan negeri muslim, termasuk Indonesia, yang masih bersumber dari Barat. Kita bangga terbebas dari penjajahan Barat, tapi mengapa tidak merasa risih menggunakan undang-undang bikinan Belanda? Itu berarti, secara tidak langsung kita menyelesaikan berbagai masalah di negeri yang mayoritas muslim ini dengan cara penjajah. Penjajah telah lama pergi, tapi mereka masih bercokol dalam wajah yang berbeda.

Khatimah 
Sudah benar-benar merdekakah kita? Jawabannya jelas, belum! Maka, menjadi kewajiban kaum muslimin secara bersama, sebagai umat mayoritas di negeri ini untuk bertafakur menyertai rasa syukur, dengan melihat realitas yang ada di negeri kita di segala bidang. Kemudian kita menilai secara jujur, sudahkah hakekat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam seperti yang dikemukakan oleh Rubaأ¢â‚¬â„¢i bin Amir tadi telah kita dapatkan? Tafakur juga dapat dilakukan dengan jalan melihat, sudahkah semua sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Bila belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Bila perjuangan dulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, maka kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi sekuler, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya barat dan segenap tatanan yang tidak Islami. Bila itu tidak dilakukan, maka selamanya kita akan terus terjajah dan tenggelam dalam lumpur kehinaan. Tidak ada lagi kemuliaan Islam dan ummatnya (izzul Islam wal muslimin). Predikat khaira ummat tidak ada lagi dalam kenyataan. Lalu kita ini telah merdeka dari apa ?

Wallahua’lam bi al-shawa [Buletin Al-Islam - Edisi 20]

WaOne Palesu

Sumber: GaulIslam.com Lanjut membaca “Sudahkah Kita Benar-Benar Merdeka?”  »»

detikcom