AL-QUR'AN:Sumber Dari Segala Sumber

Sunday, August 10, 2008

Pelajaran dari Brunei Merdeka

Pelajaran dari Brunei Merdeka  
Thursday, 01 March 2007 

Brunei Negara kecil yang dimanja dengan minyak. Tapi Tetapi proklamasi kemerdekaannya adalah proklamasi aqidah. Bandingkan dengan Indonesia?
 

oleh Dzikrullah

Hari Jum’at dan Sabtu pekan lalu, Brunei Darussalam merayakan Hari Kebangsaannya. Ada beberapa catatan yang menarik untuk kita cermati.

Tepat tengah malam itu, 23 tahun lalu, dalam detik-detik pergantian waktu dari 31 Desember 1983 menuju 1 Januari 1984, ribuan rakyat yang berkumpul sejak maghrib basah kuyup disiram hujan deras.

(Entah mengapa, meski diproklamasikan tanggal 1 Januari 1984, Brunei selalu merayakan Hari Kebangsaannya setiap 23 Pebruari. Tapi yang ini lebih penting..)

Mereka berkumpul di Masjid Omar Ali Saifuddin dan di lapangan seberangnya, Taman Haji Sir Muda Omar ‘Ali Saifuddien. Mereka sudah menunaikan shalat maghrib berjama’ah. Para ulamanya memimpin mereka memanjatkan doa syukur kepada Allah Ta’ala dan shalat ‘Isya berjama’ah. Sesudah diguyur hujan, ribuan rakyat yang kegembiraannya meluap-luap itu masih bertahan.

Tak ada teriakan “merdeka!”. Tak ada penurunan bendera Union Jack, seperti di Hong Kong 1997, walaupun negeri ini berada di bawah the British Empire selama 96 tahun. Rakyat Brunei tak pernah mau menyebut dirinya “dijajah”.

Yang ada gemuruh “Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!” diteriakkan ribuan manusia menggelegar di langit negeri yang baru lahir kembali itu, Brunei Darussalam. Nama itu tertulis di Al-Qur’an surah Yunus ayat 25:

“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).”

Rakyat menyambut teriakan pemimpin mereka, Sultan Haji Hassanal Bolkiah, yang memproklamasikan kepada seluruh warga dunia bahwa negeri ini sudah merdeka. Ini petikan proklamasinya:

“…Brunei Darussalam dengan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan selamanya menjadi Kerajaan Muslim Melayu yang berdaulat, demokratik, dan merdeka berdasarkan ajaran-ajaran Islam, kebebasan, kepercayaan dan keadilan…”

Modal aqidah

Berapa banyak negara yang memproklamasikan kemerdekaannya dengan meneriakkan takbir tiga kali, dipimpin langsung oleh rajanya? Kalaupun ada, maka diantara daftar yang sangat pendek itu, sudah pasti Brunei salah satunya –kalau bukan satu-satunya.

Bangsa berpenduduk sangat kecil yang sangat kaya minyak ini tidak mengagung-agungkan Inggris yang telah menguasainya selama hampir satu abad, yang kemudian melepaskannya. Bangsa ini mengagungkan Allah, karena yakin, pemilik sah tanah, hutan, udara, laut dan seluruh kekayaan isinya di negeri ini adalah Allah Yang Maha Berkuasa.

Brunei mungkin masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Orang Brunei sendiri mengakuinya. “Manja karena minyak, kurang inisiatif dan daya juang, kurang kreatif, kurang berani ambil risiko, banyak yang hidup berlebihan,” adalah sebagian otokritik yang mereka sampaikan sendiri.

Tetapi, proklamasi kemerdekaan Brunei adalah proklamasi kemerdekaan aqidah, yang meyakini keselamatan bangsa ini hanya akan dicapai jika aqidahnya suci dan ibadahnya benar. Ini modal besar.

Dengan modal awal aqidah yang suci, bangsa ini mudah-mudahan tidak akan pernah takut, meskipun minyak dan gas bumi akan kering dalam beberapa generasi ke depan. Beberapa penelitian menyebut, Brunei termasuk negara produser minyak yang “sudah melewati puncaknya”. Aqidah yang suci akan menjadikan sebuah negeri tandus berisi pasir dan batu menjadi negeri termakmur di seantero dunia.

Lihatlah negeri Makkah Al-Mukarramah. Ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam meninggalkan isterinya Siti Hajar dan bayinya Ismail, tempat itu bernama lembah Baka’, lembah kematian, karena tak ada satupun makhluk yang hidup di situ, tidak juga selembar rumput.

Karena aqidah yang benar dan ketaatan yang tanpa reserve kepada Allah Pemilik tanah Mekah dan seluruh bumi, Nabi Ibrahim tidak berdoa minta agar negeri itu menjadi makmur dan kaya, tetapi doanya, “Ya Allah, jadikanlah aku dan keturunanku semuanya sebagai orang-orang yang mendirikan shalat.”

Apa hasilnya? Belasan juta orang setiap tahun mendatangi Makkah untuk beribadah. Lebih dari itu, Makkah yang kini resminya menjadi bagian dari negeri bernama Arab Saudi merupakan negeri terkaya di dunia karena minyak dan gas buminya, sejak tahun 1930-an.

Persoalan bangsa manapun di dunia ini bukanlah kondisi kaya atau miskinnya. Seperti Brunei atau Etiopia. Persoalan utamanya adalah apakah suatu bangsa akan selamat di dunia dan Akhirat di mata Allah Pemilik Jagat Raya ini, pemilik ruh-ruh kita.

Planologi Nabi Ibrahim adalah contoh terbaik. Pondasi bagi master plan pembangunan sebuah negara adalah aqidah yang benar. Sebelum anggaran keuangan dan infrastruktur fisik, harus dipastikan bahwa aqidah bangsa ini selalu menyeru penduduknya untuk taat dan hanya menyembah Allah saja, 24 jam sehari 7 hari seminggu, di semua bidang kehidupan.

Kepada mereka yang kafir, menolak kebenaran aqidah ini, sama sekali tidak akan dipaksa untuk menjadi Muslim. Allah melarang pemaksaan seperti itu. Bahkan Islam mencontohkan di Madinah, di Damaskus, di Yerusalem, di Baghdad dan di mana-mana bahwa para khalifah, sultan, gubernur dan panglima perang Islam menjaga, melindungi dan menjamin keadilan orang-orang yang memilih keyakinan yang berbeda, selama mereka tidak melakukan kekacauan atau memerangi umat Islam.

Bagaimana Indonesia?

Bandingkan Brunei Darussalam dengan negara tetangganya yang jauh lebih besar, Indonesia. Selama 350 tahun dijajah, darah dan nyawa para mujahidin membasahi sejarah jihad bangsa ini. Takbir-takbir para pejuang Indonesia jauh lebih patriotik menggelegar. Namun, ironisnya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak menyebut satu kalipun nama Allah, pemilik sah tanah, air dan udara di negeri ini.

Naskah “Piagam Jakarta” yang sudah disiapkan berbulan-bulan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dan sedianya disiapkan untuk naskah proklamasi dinyatakan “lupa dibawa” ke rumah Laksamana Maeda. Walhasil, naskah proklamasi baru dioret-oret. Pengakuan atas kebesaran Allah tidak disebut sama sekali.

Tidak berhenti sampai di situ. Bangsa yang baru merdeka ini, di hari kedua (18 Agustus 1945) sudah membatalkan syahadatnya sebagai bangsa Muslim, untuk kedua kalinya. Soalnya, Bung Hatta konon didatangi opsir Jepang, yang menyampaikan bahwa para tokoh Kristen dari Indonesia Timur menyatakan akan memisahkan diri dari republik baru ini.

Yang bisa mencegah, hanya bila tujuh kata dalam Piagam Jakarta (yang menjadi mukaddimah pembukaan konstitusi), dihapus. Ketujuh kata itu adalah sambungan dari sila pertama dasar negara “Ketuhanan yang Mahaesa.., dengan kewajiban bagi ummat Islam melaksanakan syariatnya.”

Sebuah disertasi doktor bidang sejarah di Universitas Indonesia menemukan fakta, bahwa tidak ada satu opsir Jepang pun yang pernah menemui Bung Hatta sesudah Proklamasi.

Apakah Jin Jepang atau Opsir Jepang yang pernah menemui Bung Hatta, yang pasti kesucian aqidah bangsa Indonesia sudah sukses dibatalkan.

Saya jadi teringat obrolan dengan Ustadz Abu Bakar Baasyir, di penjara Cipinang, sekitar sebulan sebelum beliau bebas, tahun lalu.

Beliau bilang begini, “Bangsa ini ndak akan pernah beres, karena kita selalu sia-sia membereskan segala urusan kalau pangkal urusan, yaitu aqidah bangsa ini, tidak dibersihkan.”

“Ibaratnya kita mau mandi di sungai, ya ndak akan pernah bersih badan kita. Lha wong di hulu sungai, di mata airnya, ada badak besar penuh lumpur dan buang air terus-terusan..”

“Kalau mau mandi sampai bersih, ya diusir dulu badaknya,” kata beliau.

Nah, kita sekarang mau ikut ambil bagian mengusir badak jorok itu, atau mau terus-menerus mandi di air yang mengandung kencing dan kotoran badak?
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com 

WaOne Palesu

sumber: Hidayatullah.co.id

No comments:

detikcom