AL-QUR'AN:Sumber Dari Segala Sumber

Tuesday, February 10, 2009

Partai Dakwah Berbuah Masalah

Partai Dakwah Berbuah Masalah
Posted in ARTIKEL on December 27, 2008 by ggogoba

Dulu, kehadiran Partai Keadilan (PK) dalam kancah politik Indonesia adalah sebuah fenomena yang mencengangkan. Partai ini lahir dari ‘rahim’ para aktivis dakwah kampus tahun 80-an yang bersemangat mengusung ideologi Islam ke ranah politik kenegaraan. Ketika itu, sebutan partai dakwah atau partai kader, seakan menjadi ikon Partai Keadilan. Tidak mengherankan, karena PK dikenal juga sebagai embrio haraki ideologis Ikhwanul Muslimin, Mesir, yang juga dimaklumi dengan sebutan jamaah tarbiyah.

Para pengurusnya terdiri dari aktivis muda yang memiliki idealisme Islam. Gayanya modern, bersikap moderat dan santun. Pola hubungan antar aktivis dakwah diatur dalam strata yang ketat, senior dan yunior. Keterlibatan seorang aktivis dalam aktivitas partai diatur dalam sebuah hirarki dan tatakerja yang rapi.

Profil mereka mudah dikenal, sekaligus yang membedakannya dengan anggota partai sekuler. Perjumpaan atau perpisahan di antara mereka selalu disertai ucapan salam. Juga jabat tangan, dengan senyum akrab. Para lelaki, dengan jenggot dicukur rapi, mengenakan baju koko atau hem panjang, dan tentu tanpa rokok. Para wanita menggunakan jilbab ukuran besar hingga menutup dada, terkesan anggun nan simpatik.

Tapi, itu dulu. Sekarang lain. Sejak Mukernas (Musyawarah Kerja Nasional) yang diselenggarakan di Bali pada awal Februari 2008, PKS cenderung sinis pada gerakan Islam yang bukan konstituennya. Di tubuh partai ini, “ada dua kubu yang saling berebut pengaruh, yaitu kubu haraki ideologis dan politisi pragmatis,” kata seorang peneliti dari Belanda Martin van Bruinessen, yang sedang mengadakan penelitian tentang partai ini.

Setelah melewati masa puber sepuluh tahun berkiprah, terhitung sejak dideklarasikan 9 Agustus 1998, kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena tidak memenuhi electoral treshold hasil pemilu 1999. Pada pemilu 2004, perolehan suaranya meningkat hingga 3 persen, setara dengan 45 kursi di DPR. Merasa punya prestasi politik, partai yang kental dengan jargon ‘bersih dan peduli’ ini mulai merubah tampilan. Garis politik PKS kehilangan orientasi ideologisnya, dan bersikap pragmatis. PKS berubah dari partai kader menjadi partai terbuka. Citra moderat dan santun pun mulai kehilangan makna.

Segera setelah bermimikri dari partai kader ke partai terbuka, PKS mulai menggagas koalisi lintas partai. Karena koalisi antar parpol Islam dinilai sudah tidak relevan, sekadar romatisme politik belaka. Lagi pula, kata mereka, lebih nyaman berkoalisi dengan partai nasionalis. “Karena ditingkat bawah lebih mudah berkomunikasi dengan partai nasionalis.”

Adalah Wakil Sekjen DPP PKS, Fahri Hamzah, yang mengatakan, rakyat sudah belajar banyak dari pengalaman terdahulu. “Model-model pemilahan partai Islam dengan bukan partai Islam tidak relevan lagi. Partai-partai seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, tidak bisa dijustifikasi sebagai tidak Islam. “Kurang Islam apanya Muhammad Yusuf Kalla,” ujar Fahri. (Republika 11/12/2008).

PKS mulai cerdik, dan tampil pede sebagai ‘tengkulak kursiologi’ sebagaimana partai lainnya. Mereka membenarkan kolaborasi lintas partai asal menguntungkan meski menistakan moral Islam. Misalnya, berpasangan dengan PDIP, PDS, dalam pilkada mengusung cagub/cawagub perempuan. Mereka merekrut non Muslim ke lembaga legislatif. Melegalisasi hal yang diharamkan agama seperti mensponsori dangdut, jogetan, membiarkan perempuan tampil tabarruj dan berlomba karir politik. Pada satu segi, pragmatisme PKS mungkin bermanfaat, tapi di segi lain amat berbahaya. Ibarat minum khamer. Menurut Qur’an terdapat manfaat sedikit di dalamnya, tapi mudharatnya jauh lebih besar, maka diharamkan. Dalam kaitan ini, sikap pragmatis PKS dapat dianggap sebagai pembenaran atas pelanggaran syari’at Islam.

Sekalipun belum terbukti hasilnya, partai dakwah yang lambangnya mengambil simbol Kakbah, bulan sabit, dan garis lurus dengan latar berwarna hitam bergaris putih, kini berbuah masalah. PKS dikritik banyak pihak. Kalangan Muhammadiyah menganggap PKS sebagai ancaman. Karena dianggap mengkapling masjid dan kegiatan remaja ke dalam baju politik yang sangat berbahaya bagi ukhuwah umat. Begitu pula, NU mencurigai PKS membawa misi Wahabi, menolak qunut, tahlilan, dan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam kondisi seperti ini, terutama menjelang pemilu 2009 ini, PKS berusaha menyita perhatian dan terkesan oportunis.

Di sejumlah daerah, konstituen PKS mengadakan peringatan maulid Nabi, mengaku suka tahlilan, dan baca do’a qunut pada shalat Shubuh. Lebih kongkrit lagi, adalah iklan politik PKS saat menyambut Hari Pahlawan. Iklan tersebut menuai kontroversi dan kritikan sejumlah kalangan. Dalam iklan tersebut, PKS memunculkan tokoh nasional seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo, Natsir, dan Soeharto. Sebelumnya, semua ini asing bagi PKS.

Benarkah, perubahan sikap ini yang menyebabkan PKS mendulang sukses memenangi pilkada tingkat kabupaten dan propinsi di sejumlah tempat? Juga, digandrungi remaja karena kegiatannya yang dianggap merespon tuntutan mereka seperti da’i gaul. Pendekatan pada bisnisman muda yang tampil Islami tapi tidak terbebani oleh perjuangan Islam.

Walhasil, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seperti halnya partai lain, adalah sebuah partai yang punya ambisi dan kepentingan. Kondisinya, seperti retorika para aktivis dakwah. Ketika hendak meraih kursi kekuasaan, mereka rajin membaca Ayat Kursyi, sehingga terhindar dari godaan syetan. Mengerti halal dan haram, dan mereka mendapat petunjuk Allah SWT untuk memahami haq dan bathil.

Setelah yang diinginkan tercapai, dan menikmati empuknya kursi kekuasaan, mereka mulai kehilangan kecerdasan, bahkan keimanan. Kursinya diambil, ayatnya ditinggalkan. Sehingga, bila berpendapat tergantung pendapatan, dan berlogika sesuai kebutuhan logistik. Mereka berprilaku tanpa rasa malu.

http://wihdah.wordpress.com/

No comments:

detikcom