AL-QUR'AN:Sumber Dari Segala Sumber

Wednesday, November 12, 2008

Menghadapi Kaum Liberal dan Sekuler

Senin, 03 November 2008 10:04

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, dengan hadirnya warnaislam.com, ilmu dan pemahaman kami tentang islam makin bertambah. semoga Ustadz dan teman-teman di warnaislam.com tetap istiqomah, amiin

Apa persiapan kami baik mental maupun sikap dalam menyikapi tokoh-tokoh liberal dan sekuler yang sering tampil di TV dan membuat pernyataan-pernyataan yang seolah-olah berpihak pada islam tapi merusak islam itu sendiri, seperti membela Ahmadiyah dll.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yusuf

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tokoh liberal dan sekuler itu tidak akan pernah ada di TV seperti yang sering kita lihat saat ini, kecuali setelah dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Mulai dari mencari bibit unggul, penyeleksian, sampai kemudian menyediakan beasiswa buat mereka untuk kuliah di luar negeri.

Munawir Syadzali

Sudah milyaran juta dolar digelontorkan untuk mencetak orang-orang liberal dan sekuler. Di negeri kita saja, gelombang pertama sudah ada sejak zaman Munawir Syazali. Dia diberangkatkan ke Mc Gill University sampai dapat gelar Magister. Pulang-pulang jadi Menteri Agama RI.

Sejak itulah kemudian Departemen Agama dijejali dengan lulusan negara barat yang memang belajar kepada yahudi laknatullahi 'alaihim dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Sejak itulah IAIN dan nyaris hampir semua perguruan tinggi Islam di Indonesia secara resmi menganut paham liberal dan sekuler tingkat tinggi. Semua dosen yang berafiliasi ke timur tengah, disingkirkan dan dimasukkan kotak. Sekedar ada tapi tidak ada taringnya. Cuma sekedar penghias saja.

Sebaliknya, doktor-doktor dari barat yang sudah digembleng habis-habisan oleh penjahat-penjahat yahudi, mulai bertangan dan mengisi jabatan-jabatan penting dan sturktural di IAIN dan hampir di semua level di Departemen Agama.

Dampaknya yang saya secara pribadi rasakan, bahkan sampai kurukulum di madrasah pun tidak luput dari serbuan para biang-biang sekuler itu. Pelajaran Nahwu, Sharf, Fiqih, Hadits, Tafsir, Musthalah, Ushul Fiqih, Qawa'id Fiqhiyah, Qawaid Ushul, Manthiq, Adab, Balaghah, Imla' dan Khat, dihapus dari semua jenjang madrasah. Diganti dengan pelajaran yang tidak ada gunanya.

Maka lulusan madrasah 'aliyah, tidak satu pun yang becus baca kitab. Bahkan tidak becus baca Quran. Semua lulusan yang sudah dimandulkan itu lalu meneruskan kuliah di IAIN yang sudah disekulerkan total. Maka lulusan IAIN bukan sekedar tidak bisa baca kitab, tapi juga tidak bisa shalat. Wajar kalau di IAIN yang kini jadi UIN, pernah dipampang spanduk besar : WILAYAH BEBAS TUHAN, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!!!.

Jadi ini bukan proyek iseng-iseng berhadiah, tapi sebuah proyek maha raksasa yang melibatkan sekian banyak instansi di dalam dan juga di luar negeri. Melibatkan sekian banyak negara dan pemerintahan. Dan juga melibatkan dana miyaran dolar yang digelontorkan tanpa batas.

Cak Noer

Berikutnya, giliran Cak Noer alias Nurcholis Madjid. Dia diberangkatkan ke Chicago University dan menimba ilmu dari para Yahudi Amerika. Dia digembleng sampai jadi tokoh sekuler murni hingga dapat gelar Phd atau Doktor. Pulang-pulang, jadi cendekiawan muslim yang digemari dari ujung barat sampai ujung timur. Ketika meninggal pun, yang mengiringi jenazahnya tidak putus-putus sampai Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Padahal Cak Noer cukup bermasalah besar dengan akidah Islam. Dialah bapak sekulerisme Indonesia, sampai seorang teman mengatakan bahwa dia setaraf dengan Mustafa Kamal Ataturk di Turki. Anti jilbab yang didedungkan sampai sekarang masih punya banyak pengikut. Dan sekulerisme yang dikumandangkannya masih punya banyak penganut.

Asy-Syahid Sayyid Qutub : Anti Klimaks

Di Eropa dan Amerika, para yahudi memang benar-benar royal menggelontorkan dana tanpa batas untuk membangun kampus-kampus yang secara khusus disiapkan untuk mencuci otak para pemuda Islam. Tidak tanggung-tanggung, ulama besar semacam Asy-Syahid Sayyid Qutub sekalipun, pernah diberangkatkan ke Amerika dan disekolahkan disana. Judulnya jelas sekali, cuci otak. Dan Sayyid Qutub memang sudah sampai disana.

Hanya kisahnya agak beda dengan Cak Noer, suatu hari di jalan-jalan di Amerika sana, dari atas jendela kamarnya, Sayyid Qutub melihat orang-orang menari-nari di jalanan. Ternyata mereka sedang berpesta pora lantaran ada seorang teroris di Mesir telah ditembak mati di tempat umum.

Begitu tahu bahwa yang dimaksud dengan teroris itu adalah Hasan Al-Banna, Sayyid Qutub pun paham atas konspirasi jahat international. Saat itu juga beliau segera pulang ke Mesir dan menyatakan diri bergabung dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun, sehingga menjadi salah satu ideolognya.

Tahu bahwa proses cuci otak atas Sayiid Qutub gagal, maka penjahat-penjahat international itu pun lalu menangkap Sayyid Qutub dengan alasan yang dicari-cari walau tidak pernah terbukti. Namun akhirnya Sayyid Qutub menyusul saudaranya, Hasan Al-Banna menghadap Allah dengan menyandang gelar syahidnya.

Ulil Abshar Abdalla

Proses cuci otak tidak pernah berhenti, walau zaman sudah berganti. Tokoh liberal terus bermunculan dan yang diberangkatkan ke Amerika juga terus saja. Kali ini sudah masuk generasi ketiga, sebut saja 3G.

Tokohnya adalah Ulil Abshar Abdalla. Entah kenapa kok tidak ditulis Abdullah, tapi malah Abdalla. Malu, gengsi atau apa, tidak jelas. Tapi yang jelas, tokoh yang pernah kuliah di LIPIA tidak selesai ini pun juga ikut diberangkatkan ke Amerika untuk proses cuci otak.

Buat Ulil, sebenarnya tidak perlu lagi cuci otak. Karena otaknya memang sudah dari awal bermasalah dengan aqidah Islam yang dianut oleh bapaknya dan mertuanya sendiri. Serta bertentangan dengan semua aqidah yang dianut oleh komunitas tradisionalnya, yaitu Nahdlatul Ulama.

Sebagai putera dari tokoh Nahdliyyiin juga, saya tahu persis bahwa semua ulama di Jami'iyah ini sangat mengeluhkan corak ragam berpikir Ulil yang sangat parah itu. Kiyai Mustafa Bihsri, sang mertua pun tidak kalah pusingnya melihat kelakuan sang menantu.

Namun apakah Ulil akan menjadi Cak Noer atau jadi Sayyyid Qutub, kita belum tahu. Itu urusan Allah dan Ulil.

Namun yang kita harus bayangkan adalah betapa yahudi dunia itu benar-benar serius menghapus Islam lewat program dan proyek raksasan yang bermandikan uang itu.

Bagaimana Dengan Kita?

Pertanyaannya sekarang adalah : bagaimana dengan kita? Berapa dana yang kita sudah kita siapkan untuk proses penyaiapan para doktor dan cendekiawan muslim? Berapa mahasiwa yang kita kirim ke Al-Azhar, Madinah, Mekkah, Syria, Yaman dan Jordan? Berapa beasiswa yang kita berikan buat mereka?

Di Indonesia sendiri, berapa kampus tempat mencetak ulama sudah kita dirikan? Bagaimana dengan kualitas materi dan tenaga pengajarnya? Berapa jumlah mahasiwanya? Berapa orang dosennya?

Instansi apa yang sudah kita siapkan buat ribuan lulusan timur tengah ini? Apakah mereka bisa langsung bekerja ketika pulang ke negeri kita? Ataukah mereka masih harus jualan pisang goreng di pinggir jalan, lantaran tidak ada tempat buat mereka di dalam sturktur pemerintahan dan di DEPAG?

Berapa banyak media massa yang kita punya? Apakah kita sudah punya radio, Tv dan situs? Kalau itu berbentuk media cetak, berapa tirasnya? Apakah sudah menjangkau semua kalangan? Bagaimana pula dengan kesehatan keuangannya? Bagaimana dengan deferensiasi media dan pengembangannya?

Bandingkan dengan sekian banyak dana yang sudah kita keluarkan buat ribuan peringatan seremoni, seperti MTQ, maulid nabi, halal bi halal, buka puasa bersama, ratiban, pelepasan dan penyambutan jamaah haji dan umrah, sunatan, tahlilan, selametan dan seterusnya.

Saya tidak mengatakan kita haram melakukan semua rangkaian seremoni itu. Saya hanya bilang, betapa kita melupakan sesuatu yang amat vital, dengan lebih mengedepankan sesuatu yang mungkin masih bisa didiskusikan.

Sementara yahudi international, memang sangat sangat serius menggarap proyek sekulerisasi buat pemuda dan mahasiswa muslim. Sedangkan kita sibut bikin ritual dan seremoni yang sebenarnya isinya hanya itu-itu juga.

Wahai seandainya, ini cuma seandainya, jamaah haji dan umrah yang kerjanya tiap 3 bulan bolak-balik ke Saudi itu mau sedikit berpikir realistis, misalnya haji cukup 1 kali dalam 5 tahun, tiap tahun uang yang buat hajinya itu digelontorkan untuk mendirikan kampus syariah, dimana orang-orang belajar syariah Islam hingga benar-benar menjadi paham dan mengerti,tentu akan sangat jauh lebih berguna.

Tentu orang semacam Ulil tidak silau dengan tawaran beasiswa ke Amerika. Suasana akan jadi lain, seandainya di Jakarta bisa didirikan 10 kampus yang sekelas dengan LIPIA, dengan tenaga profesional dari mancanegara, dimana setiap mahasiwa tidak perlu bayar uang kuliah, melainkan malah mendapat 'gaji' tiap bulan, tidak usah banyak-banyak, cukup 1/2 juta saja.

Islam di Indonesia akan jauh lebih maju bila punya 10 kampus yang semua lulusan yang sudah minimal hafal 8 juz Al-Quran, fasih berbahasa Arab serta sudah melalap habis semua kitab gundul.

apalagi kalau bisa diatur agar semua lulusan itu otomatis menjadi PNS dengan gaji yang memadai. Lalu mereka bekerja 24 jam demi kemaslahatan umat, tidak doyan duit, apalagi korupsi, tidak pernah memark-up dana, tidak suka manipulasi, juga anti bikin proyek dan surat perjalanan fiktif yang sudah jadi tradisi.

Maka dunia dakwah Islam di Indonesia akan kelihatan lebih cerah. Tapi kapan ya?

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc


WaOne Palesu

Sumber : www.warnaislam.com

No comments:

detikcom